Minggu, 01 Juli 2012

aturan kewarganegaran


Aturan kewarganegaraan
11 Juli 2006 merupakan hari yang bersejarah bagi sebagian warga negara Indonesia (WNI). Pasalnya pada tanggal tersebut DPR dalam Sidang Paripurnanya menyetujui UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan (UU Kewarganegaraan 2006) yang menggantikan UU No 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang mengacu pada Staanblad 1910-296 warisan pemerintah kolonial Belanda. Awal Agustus 2006 lalu Presiden juga telah mensahkan UU yang dianggap progresif dan konstruktif ini

Pada awalnya, doktrin kewarganegaraan hanya mengenal asas ius soli (penentuan warga negara berdasar tempat kelahiran) dan asas ius sanguinis (penentuan warga negara berdasar hubungan darah). Indonesia berdasarkan UU No 62 tahun 1958 menganut asas ius sanguinis (dari garis darah ayah). Sehingga anak dari perkawinan perempuan WNI dengan pria WNA (warga negara asing), otomatis mengikuti kewarganegaraan ayah. Padahal, banyak anak-anak dari pasangan tersebut lahir di Indonesia dan dibesarkan dengan tradisi dan budaya ibu. Melihat ketidakadilan tersebut, UU Kewarganegaraan 2006 mengakui kewarganegaraan ganda terbatas pada anak-anak (dari pasangan kawin campur dan anak-anak yang lahir dan tinggal di luar negeri) hingga usia 18 tahun. Setelah mencapai usai tersebut, akan diberikan tenggang waktu 3 tahun. Setelah lewat masa tenggang anak diwajibkan memilih salah satunya.

Dinyatakan pula bahwa WNI yang menikah dengan pria WNA tidak lagi dianggap otomatis mengikuti kewarganegaraan suaminya, melainkan diberi tenggang waktu tiga tahun untuk menentukan pilihan, apakah akan tetap jadi WNI atau melepaskannya. Selain itu, apabila istri memutuskan tetap menjadi WNI (atau selama masa tenggang 3 tahun itu), ia malah bisa menjadi sponsor izin tinggal suaminya di Indonesia tanpa harus melalui proses naturalisasi (status permanent residence). Dengan demikian, mengutip pendapatnya Lukman Hakim Syaifuddin, UU ini memang bertujuan untuk melindungi keharmonisan keluarga sesuai tuntutan pergaulan internasioal. 1

Bila dirunut dalam sejarah pemberlakuan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia)yang menjadi momok diskriminasi terhadap keturunan Tionghoa. Dasar hukum SBKRI adalah Undang-Undang No. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman G.A. Maengkom dan disahkan oleh Presiden Soekarno.

Hal ini merupakan konsekuensi klaim politik pemerintahan Mao Tse Tung yang menyebutkan bahwa semua orang Cina di seluruh dunia termasuk Indonesia adalah warga negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) karena asas ius sanguinis. Sehingga terdapat Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun1959 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Persetujuan Antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok, yang menciptakan pengelompokan WNI menjadi WNI tunggal dan dwikewarganegaraan RI-RRT.

Keberadaan UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan telah kembali menegaskan penolakan terhadap diskriminasi tersebut. Pasal 2 UU Kewarganegaraan baru menyebutkan, “Yang menjadi warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.“ Siapa yang menjadi orang Indonesia asli yaitu mereka yang sejak lahir sudah menjadi WNI dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendak sendiri. Artinya semua WNI keturunan Cina, Arab, India dsb yang sesuai dengan kreteria tersebut bisa disebut sebagai orang Indonesia asli.
Pada tanggal 1 Agustus 2006, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia telah diundangkan dan diberlakukan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958.
Hal-hal yang menonjol dari Undang-Undang di atas adalah:
  1. Sifat non-discriminatif yaitu status kewarganegaraan Indonesia seseorang tidak lagi ditentukan berdasarkan ras, keturunan, suku bangsa, agama dsb, tetapi ditentukan berdasarkan aturan hukum.
  2. Memberi kewarganegaraan terbatas kepada:
    • Anak WNI yang lahir dari suatu perkawinan campuran.
    • Anak WNI yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat secara sah oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan.
    • Anak dari pasangan WNI yang lahir di negara yang menganut asas ius soli
    • Anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah dan diakui oleh ayahnya yang WNA.
  3. Memberi kesempatan memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia kepada anak-anak yang lahir dari suatu perkawinan campuran yang lahir sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI yang belum berusia 18 tahun dan belum kawin.
  4. Persamaan di depan hukum bagi perempuan dan laki-laki untuk mengajukan pewarganegaraan.
  5. Kehilangan kewarganegaraan bagi suami atau istri yang terikat perkawinan yang sah tidak menyebabkan hilangnya status kewarganegaraan dari istri atau suami.
  6. Kehilangan kewarganegaraan Indonesia bagi seorang ayah atau ibu tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya.

Produk Hukum

Berikut ini adalah kumpulan Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya yang terkait dengan Kewarganegaraan.
  1. undang – undang no 12 tahin 2006mtentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
  2. peraturan pemerintah no 2 tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia
  3. peraturan menteri hukum dan HAM Republik Indonesia no M.01-HL.03.01 tahun 2006 tentang tata cara pendaftaran untuk memperoleh kewarganegaraan
  4. Republik Indonesia berdasarkan pasal 41 dan memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan pasal 42 undang-undang nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia
  5. peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia  tentang tata cara menyampaikan pernyataan untuk menjadi warga negara Republik Indonesia
  6. Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia no M.08-HL.04.01 tahun 2007 tentang tata cara pendaftaran, pencatatan, dan pemberian fasilitas keimigrasian sebagai WNI yang berkewarganegaraan ganda.
2.  Suhirlan A. dan Azanul Arif, “UU Kewarganegaraan Masih Diskriminatif? Memupus Hantu SBKRI”, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/082006/16/1101.htm dijelajah 6 November 2006.

3.  Benny G Setiono, “Setelah UU Kewarganegaraan, Lalu?”, http://www.inti.or.id/?dir=news&file=detail&id=119 dijelajah 6 November 2006

4. http://consular.indonesia-ottawa.org/indonesia-citizens/kewarganegaraan/undang-undang-peraturan-kewarganegaraan/
Aturan kewarganegaraan
11 Juli 2006 merupakan hari yang bersejarah bagi sebagian warga negara Indonesia (WNI). Pasalnya pada tanggal tersebut DPR dalam Sidang Paripurnanya menyetujui UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan (UU Kewarganegaraan 2006) yang menggantikan UU No 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang mengacu pada Staanblad 1910-296 warisan pemerintah kolonial Belanda. Awal Agustus 2006 lalu Presiden juga telah mensahkan UU yang dianggap progresif dan konstruktif ini

Pada awalnya, doktrin kewarganegaraan hanya mengenal asas ius soli (penentuan warga negara berdasar tempat kelahiran) dan asas ius sanguinis (penentuan warga negara berdasar hubungan darah). Indonesia berdasarkan UU No 62 tahun 1958 menganut asas ius sanguinis (dari garis darah ayah). Sehingga anak dari perkawinan perempuan WNI dengan pria WNA (warga negara asing), otomatis mengikuti kewarganegaraan ayah. Padahal, banyak anak-anak dari pasangan tersebut lahir di Indonesia dan dibesarkan dengan tradisi dan budaya ibu. Melihat ketidakadilan tersebut, UU Kewarganegaraan 2006 mengakui kewarganegaraan ganda terbatas pada anak-anak (dari pasangan kawin campur dan anak-anak yang lahir dan tinggal di luar negeri) hingga usia 18 tahun. Setelah mencapai usai tersebut, akan diberikan tenggang waktu 3 tahun. Setelah lewat masa tenggang anak diwajibkan memilih salah satunya.

Dinyatakan pula bahwa WNI yang menikah dengan pria WNA tidak lagi dianggap otomatis mengikuti kewarganegaraan suaminya, melainkan diberi tenggang waktu tiga tahun untuk menentukan pilihan, apakah akan tetap jadi WNI atau melepaskannya. Selain itu, apabila istri memutuskan tetap menjadi WNI (atau selama masa tenggang 3 tahun itu), ia malah bisa menjadi sponsor izin tinggal suaminya di Indonesia tanpa harus melalui proses naturalisasi (status permanent residence). Dengan demikian, mengutip pendapatnya Lukman Hakim Syaifuddin, UU ini memang bertujuan untuk melindungi keharmonisan keluarga sesuai tuntutan pergaulan internasioal. 1

Bila dirunut dalam sejarah pemberlakuan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia)yang menjadi momok diskriminasi terhadap keturunan Tionghoa. Dasar hukum SBKRI adalah Undang-Undang No. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman G.A. Maengkom dan disahkan oleh Presiden Soekarno.

Hal ini merupakan konsekuensi klaim politik pemerintahan Mao Tse Tung yang menyebutkan bahwa semua orang Cina di seluruh dunia termasuk Indonesia adalah warga negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) karena asas ius sanguinis. Sehingga terdapat Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun1959 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Persetujuan Antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok, yang menciptakan pengelompokan WNI menjadi WNI tunggal dan dwikewarganegaraan RI-RRT.

Keberadaan UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan telah kembali menegaskan penolakan terhadap diskriminasi tersebut. Pasal 2 UU Kewarganegaraan baru menyebutkan, “Yang menjadi warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.“ Siapa yang menjadi orang Indonesia asli yaitu mereka yang sejak lahir sudah menjadi WNI dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendak sendiri. Artinya semua WNI keturunan Cina, Arab, India dsb yang sesuai dengan kreteria tersebut bisa disebut sebagai orang Indonesia asli.
Pada tanggal 1 Agustus 2006, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia telah diundangkan dan diberlakukan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958.
Hal-hal yang menonjol dari Undang-Undang di atas adalah:
  1. Sifat non-discriminatif yaitu status kewarganegaraan Indonesia seseorang tidak lagi ditentukan berdasarkan ras, keturunan, suku bangsa, agama dsb, tetapi ditentukan berdasarkan aturan hukum.
  2. Memberi kewarganegaraan terbatas kepada:
    • Anak WNI yang lahir dari suatu perkawinan campuran.
    • Anak WNI yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat secara sah oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan.
    • Anak dari pasangan WNI yang lahir di negara yang menganut asas ius soli
    • Anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah dan diakui oleh ayahnya yang WNA.
  3. Memberi kesempatan memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia kepada anak-anak yang lahir dari suatu perkawinan campuran yang lahir sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI yang belum berusia 18 tahun dan belum kawin.
  4. Persamaan di depan hukum bagi perempuan dan laki-laki untuk mengajukan pewarganegaraan.
  5. Kehilangan kewarganegaraan bagi suami atau istri yang terikat perkawinan yang sah tidak menyebabkan hilangnya status kewarganegaraan dari istri atau suami.
  6. Kehilangan kewarganegaraan Indonesia bagi seorang ayah atau ibu tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya.

Produk Hukum

Berikut ini adalah kumpulan Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya yang terkait dengan Kewarganegaraan.
  1. undang – undang no 12 tahin 2006mtentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
  2. peraturan pemerintah no 2 tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia
  3. peraturan menteri hukum dan HAM Republik Indonesia no M.01-HL.03.01 tahun 2006 tentang tata cara pendaftaran untuk memperoleh kewarganegaraan
  4. Republik Indonesia berdasarkan pasal 41 dan memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan pasal 42 undang-undang nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia
  5. peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia  tentang tata cara menyampaikan pernyataan untuk menjadi warga negara Republik Indonesia
  6. Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia no M.08-HL.04.01 tahun 2007 tentang tata cara pendaftaran, pencatatan, dan pemberian fasilitas keimigrasian sebagai WNI yang berkewarganegaraan ganda.
2.  Suhirlan A. dan Azanul Arif, “UU Kewarganegaraan Masih Diskriminatif? Memupus Hantu SBKRI”, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/082006/16/1101.htm dijelajah 6 November 2006.

3.  Benny G Setiono, “Setelah UU Kewarganegaraan, Lalu?”, http://www.inti.or.id/?dir=news&file=detail&id=119 dijelajah 6 November 2006

4. http://consular.indonesia-ottawa.org/indonesia-citizens/kewarganegaraan/undang-undang-peraturan-kewarganegaraan/